Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura merupakan sebuah kesultanan yang terletak di daerah yang kini kita kenal dengan nama Tenggarong, Provinsi Kalimantan Timur. Kesultanan Kutai Kartanegara diperkirakan berdiri pada tahun 1300-an Masehi (abad ke-14) dan sempat dihapus pada tahun 1960. Akan tetapi, Kesultanan Kutai Kartanegara kembali eksis pada tahun 2001 dengan mengangkat seorang sultan bergelar gelar Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II.
Sejarah berdirinya Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura tidak bisa dipisahkan dari berdirinya Kerajaan Kutai. Keberadaan Kerajaan Kutai dibuktikan dengan ditemukan tujuh prasasti (tiang batu) yang disebut yupa di Kalimantan Timur.
Ketujuh yupa tersebut ditulis dalam bahasa Sanskerta dan menggunakan huruf Pallawa yang lazim dipakai pada abad ke-5 M atas titah seorang raja bernama Mulawarman. Jika membandingkan huruf yang dipakai dalam prasasti di Kerajaan Kutai dengan huruf Pallawa yang berasal dari India, maka diperkirakan Kerajaan Kutai berdiri pada abad 4-5 M.
Sampai saat ini, kajian secara ilmiah dan komprehensif yang menyoroti hubungan antara Kerajaan Kutai dengan Kerajaan Kutai Kartanegara -- yang merupakan cikal bakal Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura -- belum pernah dilakukan. Adanya missing link antara pendirian dua kerajaan yang mempunyai lokasi berdekatan ini masih menjadi problematika tersendiri di kalangan para arkeolog maupun sejarawan. Hanya saja, baik para arkeolog maupun sejarawan sampai saat ini masih sepakat bahwa pada dasarnya antara Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara masih mempunyai hubungan sejarah.
Kerajaan Kutai berlokasi di tepi sungai Mahakam, tepatnya di Muara Kaman, sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara berada lebih ke muara atau kini dikenal dengan nama Kutai Lama. Kutai Lama merupakan sebuah daerah yang dekat dengan kota Samarinda sekarang. Pemilihan lokasi Kutai Lama sebenarnya lebih disebabkan karena pilihan pragmatis sekaligus logis. Pertama, Kutai Lama adalah sebuah daerah yang dilalui oleh sungai Mahakam yang juga berfungsi sebagai jalur perdagangan. Kedua, daerah Muara Kaman (Kutai Lama) terkenal akan kesuburan tanah yang sesuai untuk pertanian.
Waktu pendirian Kerajaan Kutai Kartanegara sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Catatan sejarah yang sempat teridentifikasi menyebutkan bahwa raja pertama Kerajaan Kutai Kartanegara memerintah pada tahun 1300–1325 M. Eiseuberger dalam buku Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh sejarah Kalimantan dalam Soetoen (1975), menyatakan bahwa raja pertama Kerajaan Kutai Kartanegara memerintah pada tahun 1380–1410 M. Di sisi lain, nama Kerajaan Kutai Kartanegara telah tercatat di buku Negarakretagama pada tahun 1365 M. Terakhir, Ibn Batuta dalam catatannya telah menulis bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara telah ada pada tahun 1304–1378. Sehingga dilihat dari berbagai data di atas, maka besar kemungkinan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara telah berdiri pada abad ke-14 M.
Nama Kutai berasal dari bahasa Cina “Kho Thay” yang “berarti negara yang besar”. Sedang Kartanegara berarti “mempunyai peraturan”. Jadi arti nama Kutai Kartanegara adalah “negara besar yang mempunyai peraturan”. Pada awal berdiri, nama Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura adalah Kerajaan Kutai Kartanegara. Nama Kerajaan Kutai Kartanegara ini digunakan sebagai pembeda dengan Kerajaan Kutai. Pendiri Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang pemuda dari daerah bernama Jaitan Layar.
Aji Batara Agung Dewa Sakti memerintah hingga tahun 1320 M. Setelah wafat, pemimpin Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Aji Batara Agung Paduka Nira (1320-1370 M). Aji Batara Agung Nira mempunyai 7 orang anak, 5 laki-laki dan 2 perempuan. Dari kelima anak laki-laki tersebut, hanya dua orang yang tampak paling menonjol dibandingkan dengan para saudaranya, yaitu Maharaja Sakti (anak sulung) dan Maharaja Sultan (anak kelima).
Ketika Aji Batara Agung Paduka Nira mangkat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Kutai Kartanegara tidak diserahkan kepada putra sulungnya, Maharaja Sakti, tetapi jatuh ke tangan Maharaja Sultan. Keputusan untuk menempatkan Maharaja Sultan sebagai pewaris tahta memang menjadi keputusan bersama di antara ketujuh bersaudara tersebut. Di sisi lain, para saudara Maharaja Sultan tetap mendampingi sebagai menteri.
Maharaja Sultan memerintah di Kerajaan Kutai Kartanegara antara tahun 1370–1420 M. Pada masa pemerintahan Maharaja Sultan dijalin hubungan yang erat dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Salah satu bentuk hubungan tersebut adalah kunjungan Maharaja Sultan bersama dengan Maharaja Sakti ke Kerajaan Majapahit untuk belajar tentang adat istiadat dan tatacara pemerintahan.
Kerajaan Majapahit yang waktu itu diperintah oleh Hayam Wuruk menyambut baik kedatangan Maharaja Sultan dan Maharaja Sakti. Kedua putra Borneo ini kemudian diperlakukan layaknya tamu dan diajarkan tentang adat istiadat dan tatacara mengelola pemerintahan kerajaan. Setelah selesai menimba ilmu di Kerajaan Majapahit, dua saudara kandung ini kembali ke Kerajaan Kutai Kartanegara untuk menerapkan ilmu yang didapatkan di Kerajaan Majapahit.
Interaksi antara dua kerajaan tersebut berujung pada hubungan saling mempengaruhi. Di satu sisi Kerajaan Kutai Kartanegara mendapat pengaruh Hindu dari Kerajaan Majapahit. Di sisi lain, Kerajaan Majapahit mendapatkan tempat tersendiri di Kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu kedudukan Majapahit sebagai negara induk, sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara adalah negara taklukan. Sebagai cara untuk mempertegas pengakuan tersebut, maka Kerajaan Majapahit menempatkan seorang patih sebagai representasi pengakuan kekuasaan di Kerajaan Kutai Kartanegara. Mulai dari sini pengaruh agama Hindu masuk dan menjadi agama negara di Kerajaan Kutai Kartanegara.
Masuknya Islam di Kerajaan Kutai
Pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525–600 M) Kerajaan Kutai Kartanegara kedatangan dua orang ulama dari Makassar, yaitu Tuan Ri Bandang dan Tunggang Pararang. Seperti dikisahkan dalam Salasilah Kutai, tujuan kedatangan dua ulama tersebut adalah menyebarkan agama Islam dengan cara mengajak Aji Raja Mahkota untuk memeluk Islam. Pada awalnya ajakan kedua ulama ini ditolak oleh Aji Raja Mahkota dengan alasan bahwa agama negara di Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Hindu.
Langkah diplomasi kedua ulama ini untuk mengajak Aji Raja Mahkota ditolak oleh sang raja. Bahkan karena langkah diplomasi buntu, Tuan Ri Bandang akhirnya memutuskan kembali ke Makassar dan meninggalkan Tunggang Pararang di Kerajaan Kutai Kartanegara. Sebagai jalan akhir, Tunggang Pararang menawarkan solusi kepada Aji Raja Mahkota untuk mengadu kesaktian dengan taruhan apabila Aji Raja Mahkota kalah, maka sang raja bersedia untuk memeluk agama Islam. Akan tetapi jika Aji Raja Mahkota menang maka Tunggang Pararang akan mengabdikan hidupnya untuk Kerajaan Kutai Kartanegara.
Solusi dari Tunggang Pararang disetujui oleh Aji Raja Mahkota. Adu kesaktian akhirnya digelar dan berujung dengan kekalahan Aji Raja Mahkota. Sebagai konsekuensi kekalahan, maka Aji Raja Mahkota akhirnya masuk Islam. Sejak Aji Raja Mahkota masuk Islam maka pengaruh Hindu yang telah tertular lewat interaksi dengan Kerajaan Majapahit lambat laun luntur dan berganti dengan pengaruh Islam. Sebagian rakyat yang masih memilih untuk memeluk agama Hindu kemudian tersisih dan berangsur-angsur pindah ke daerah pinggiran kerajaan.
Dari Kerajaan Kutai Kartanegara Menuju Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
Perkembangan Kerajaan Kutai Kartanegara yang mempunyai lokasi berdekatan dengan Kerajaan Kutai yang lebih dulu ada di Muara Kaman pada awalnya tidak menimbulkan friksi yang berarti. Hanya saja ketika Kerajaan Kutai Kartanegara diperintah oleh Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura (1605–1635 M) terjadi perang besar antara dua kerajaan ini. Di akhir perang Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara dilebur menjadi satu dengan nama Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Raja pertama dari penggabungan dua kerajaan ini adalah Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura (1605–1635 M).
Pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura, pengaruh Islam yang telah masuk sejak pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525–1600 M) telah mengakar kuat. Islam sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Indikator dari pengaruh Islam terlihat pada pemakaian Undang-Undang Dasar kerajaan yang dikenal dengan nama “Panji Salaten” yang terdiri dari 39 pasal dan memuat sebuah kitab peraturan yang bernama “Undang-Undang Beraja Nanti” yang memuat 164 pasal peraturan. Kedua undang-undang tersebut berisi tentang peraturan yang disandarkan pada Hukum Islam.
Pemimpin pertama yang memakai gelar “sultan” adalah Aji Sultan Muhammad Idris. Beliau merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng, seorang bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan. Pada saat rakyat Bugis di Sulawesi Selatan sedang berperang melawan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie), Sultan Wajo La Madukelleng meminta bantuan Aji Sultan Muhammad Idris. Permintaan bantuan dipenuhi oleh Aji Sultan Muhammad Idris. Berangkatlah rombongan Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi Selatan untuk membantu Sultan Wajo La Madukelleng. Dalam upaya memberikan bantuan tersebut, Aji Sultan Muhammad Idris meninggal dunia.
Selama kepergian Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi, kursi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dipegang oleh dewan perwalian. Tetapi ketika Aji Sultan Muhammad Idris meninggal dalam pertempuran di Sulawesi, timbul perebutan tahta tentang pengganti sultan. Perebutan tahta terjadi antara kedua anak Aji Sultan Muhammad Idris, yaitu Putera Mahkota Aji Imbut dan Aji Kado.
Pada awal perebutan tahta, Aji Imbut terdesak oleh Aji Kado dan lari ke Sulawesi, ke tanah kakeknya, yaitu Sultan Wajo La Madukelleng. Aji Imbut menggalang kekuatan untuk kembali menyerang Aji Kado yang kini menduduki ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang terletak di Pemarangan, karena ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara telah berpindah dari Kutai Lama ke Pemarangan sejak tahun 1732.
Aji Imbut akhirnya menyerang Aji Kado di Pemarangan. Didukung oleh orang-orang Wajo dan Bugis, Aji Imbut berhasil mengalahkan Aji Kado dan menduduki singgasana Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Aji Marhum Muhammad Muslihudin (1739–1782 M). Sedangkan Aji Imbut dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Masuknya Pengaruh Kolonial
Sekitar abad ke-16 Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi taklukan Kesultanan Banjar yang kala itu dipimpin oleh Pangeran Samudera (1526–1545 M). Status sebagai daerah taklukan Kesultanan Banjar ternyata mengantarkan Kesultanan Kutai Kartanegara masuk menjadi daerah vasal Pemerintah Hindia Belanda. Pengalihan kekuasaan ini terjadi pada tahun 1787 setelah Sultan Tamjidillah II menandatangani pengalihan kekuasaan atas daerah taklukan Kesultanan Banjar sebagai kompensasi atas bantuan Pemerintah Hindia Belanda ketika membantu untuk memerangi Pangeran Amir.
Isi perjanjian antara Sultan Tamjidillah II dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda berbunyi, “Sultan Banjar menyerahkan segala tanah kerajaannya kepada Pemerintah Belanda, di antaranya itu sebagian besar akan diterimanya kembali sebagai pinjaman. Yang tetap diserahkan kepada Pemerintah Belanda yaitu: Tanah Bumbu, Pagatan, Pasir, Kutai, Berau, Bulongan, dan Kotawaringin.” Lewat perjanjian tersebut, maka sejak tahun 1787 secara de facto Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura menjadi daerah taklukan Belanda. Pengalihan kekuasaan dari Kesultanan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda terjadi ketika Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Salehudin (1782–1845 M).
Pengalihan kekuasaan atas Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dari Kesultanan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda, pada dasarnya masih bersifat de facto (belum de jure) mengingat para sultan di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura tidak pernah dilibatkan atau menandatangani perjanjian pengalihan kekuasaan secara langsung. Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura hanya menerima pengalihan fungsi kewenangan sebagai konsekuensi negara taklukan Kesultanan Banjar.
Pada tahun 1825, atas usaha dari G. Muller, Residen Banjarmasin, Pemerintah Hindia Belanda mengikat secara resmi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan menandatangani sebuah perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Aji Sultan Muhammad Salehudin (1782–1845 M). Isi perjanjian tersebut, secara garis besar, berbunyi bahwa Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura mengakui Pemerintah Hindia Belanda sebagai yang dipertuan, sultan menyerahkan urusan pengadilan, bea cukai, pajak orang-orang Cina, pajak tambang emas, dan sebagainya. Sebagai kompensasi, Pemerintah Hindia Belanda memberikan santunan kepada sultan sebesar 8.000 gulden pertahun. Sejak ditandatangani perjanjian ini, Pemerintah Hindia Belanda kemudian menempatkan seorang civiel gezaghebber (penguasa sipil) di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura bernama H. van Dewall.
Pada tahun 1871 pusat pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara berpindah dari Pemarangan ke Tenggarong ketika diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Muslihuddin. Salah satu alasan perpindahan pusat pemerintahan adalah gangguan keamanan karena adanya bajak laut dari Sulu yang mulai mengacau di wilayah perairan Kesultanan Kutai Kartanegara.
Pengaruh Belanda bertahan hingga Jepang datang pada tahun 1942. Selama penjajahan Jepang tidak terlihat perubahan yang signifikan dalam sistem pemerintahan. Jepang tetap mempertahankan bentuk swapraja bagi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang waktu itu diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Parikesit (1920–1960) memilih sikap untuk bekerjasama dengan Pemerintah Pendudukan Jepang. Sikap ini didasari atas tindakan brutal yang dilakukan Jepang dengan cara membunuh sekitar 300 orang keluarga Kesultanan Pontianak dengan alasan tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah Pendudukan Jepang.
Penghapusan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
Akhir penjajahan Jepang ditandai oleh Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Pada tahun 1947, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang notabene berstatus daerah swapraja dimasukkan ke dalam wilayah Federasi Kalimantan Timur bersama dengan Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Pada tanggal 27 Desember 1949, Dewan Kesultanan tergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat. Lalu pada tahun 1953, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai melalui UU Darurat No.3 Th.1953 menjadi daerah otonomi tingkat kabupaten.
Berdasarkan UU No. 27 tahun 1959 tentang “Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yaitu:
Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda.
Pada tanggal 20 Januari 1960, APT Pranoto selaku Gubernur Kalimantan Timur, atas nama Menteri Dalam Negeri melantik ketiga kepala Daerah Tingkat II, salah satunya adalah Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai. Sehari kemudian, 21 Januari 1960, bertempat di Balairung Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura di Tenggarong, diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda), dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Dengan serah terima pemerintahan tersebut berarti Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Aji Sultan Muhammad Parikesit berakhir.
Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais melakukan upaya untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara. Upaya ini ditempuh dengan alasan untuk menggalakkan pariwisata sekaligus sebagai penjaga cagar budaya. Upaya tersebut menuai hasil karena pada tahun 2001, Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan dan mengakui pendirian kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan pengangkatan Putra Mahkota, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat. Pada tanggal 22 September 2001, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat ditabalkan sebagai sultan di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II.
0 komentar:
Posting Komentar